Oleh: M. Yunus BS.*
Beberapa tahun yang lalu menjelang memasuki abad ke-21, masyarakat kepulauan sempat dihadapkan pada uporia yang begitu luar biasa seiring masuknya sejumlah perusahaan raksasa alias korporasi-korporasi global yang nota bene berbasis eksplorasi minyak gas. Tidak terkecuali masyarakat kepualauan Sapeken, yang oleh sejumlah peneliti dipandang sebagai salah satu kepualauan yang memiliki potensi minyak gas cukup berlimpah. Kegembiraan mereka tentu saja cukup beralasan.
Pertama; Masyarat kepulauan (Sapeken) yang selama ini dipandang sebelah mata ternyata menyimpan daya tarik yang cukup bagi memikat sejumlah perusahaan, sehingga dimungkinkan akan mengangkat nama mereka. Kedua; Dengan masuk masuknya perusahaan-perusahaan tersebut, suatu petanda bahwa masyarakat Sapeken tidak lama lagi akan memperoleh lapangan pekerjaan yang luas.
Ketiga; Berdasarkan salah satu program sampingan (sekarang sudah menjadi program wajib seiring dengan tertibnya Undang-undang perseroan) yang dimiliki setiap perusahaan dalam bentuk Corporate Social Responsibility (CSR) (selanjutnya baca Yunus: Kejahatan Korporasi), kehadiran suatu perusahaan besar diyakini dapat membantu masyarakat setempat untuk meningkatkan kualitas infratruktur daerah atau kawasan tempat perusahaan tersebut beroperasi. Dan keempat; Di samping, perusahaan-perusahaan tersebut sekaligus akan menambah rute perjalanan wisata para turis dari Bali ke pulau Sapeken. Kedatangan mereka tentu akan menjadi pemandangan yang sangat menarik bagi masyarakat di sana. Maklum, yang namanya masyarakat terpencil, turis seolah menjadi sesuatu yang “aneh bin ajaib”, sehingga selalu memancing perhatian tersendiri. Apalagi kalau turisnya cewek-cewek cantik dengan pakaian yang serba mini, alamak…indahnya men…!? (yang terakhir ini cuma guyonan). Dan masih banyak alasan lain yang tidak perlu disebutkan di sini.
Yang pasti, bagi masyarakat kepulauan – termasuk juga masyarakat daratan lainnya – perusahaan selalu dipandang sebagai salah simbol kemajuan, sehingga mereka senantiasa menanti-nanti kehadirannya. Tapi apa yang terjadi setelah perusahaan-perusahaan raksasa tersebut datang? Benarkan korporasi-korporasi itu membawa kesejahteraan bagi masyarkat setempat? Tentu saja tidak. Alih-alih akan mendatangkan kesejahteraan, perusahaan-perusahaan tersebut justeru akan menghadirkan setumpuk persalahan besar yang dapat mengancam masa depan perekonomian masyarakat. Tentang dampak buruk di atas, kita cukup belajar pada beberapa kasus yang sudah terjadi di beberapa tempat. Seperti pada 2001, terjadi kebocoran industri migas di Desa Rahayu Kecamatan Suko, Tuban, milik Devon Canada dan Petrochina.
Selama proses produksi flair sumur tersebut terus mengeluarkan gas SO3 dan H2S, akibatnya hingga radius 500 meter kegiatan pertanian di sekitarnya mati total. Pada 29 Mei 2006 terjadi semburan lumpur Lapindo. Pada 29 Juli 2006 sumur minyak Sukowati milik Petrochina di Desa Campurejo, Kabupaten Bojonegoro terbakar. Sementara pada 2007 ratusan nelayan di Bangkalan tidak bisa lagi melaut karena beroperasinya Santos. Jadi, 19 Juta lebih penduduk Jatim sebenarnya sedang hidup berdampingan dengan resiko bencana industri migas yang sangat tinggi.
Dampak semacam itulah yang akan menimpa masyarakat kita juga kelak sebagai dampak dari pengeboran di pulau Pagerungan, Sepanjang, Sakala, dan lain sebagainya. Infrastruktur pun sama sekali tidak tertolong selain sebatas sekitar kawasan perusahaan itu sendiri. Itu pun bukan untuk kepentingan masyarakat, melainkan karena tuntutan desain perusahaan itu sendiri. Pulau Pagerungan Besar misalnya, jika dikalkulasi berdasarkan hasil eksplorasi minyak gas yang dilakukan perusahaan di sana, sudah semenstinya masyarakat pulau berpenduduk sekitar 4.500 jiwa ini selamat dari ancaman kemiskinan. Infrastruktur di sana pun seharusnya sudah melampaui pulau-pulau lainnya.
Sebab sebagaimana diketahui, bahwa hingga kini telah banyak perusahaan migas baik dalam maupun luar negeri melakukan eksplorasi di kawasan pulau itu. Bahkan beberapa blok telah selesai dilakukan drilling atau pengeboran. Perusahaan-perusahaan yang telah mengeruk hasil bumi Pulau Pagerungan Besar, di antaranya adalah Arbani (Arco Bali North Indonesia), Medco, Amoco, Beyond Petrolium (BP) serta PT Energy Mega Persada (EMP) Kangean Ltd. Arco, yang mulai melakukan pengeboran semenjak tahun 1982, di mana yang menjadi sasaran pertamakali adalah di Blok Terang 1, Blok Sakala 1, Blok Igangan 1. Pada 1985 Arco proses pengeboran tersebut dilanjutkan di Blok Pagerungan 1, 2, 3, 4, dan 5. Pada bulan Februari 1988, Arco melanjutkan pengeboran di Blok Kangean dan di tempat itu ditemukan cadangan gas (Surya, 23/01/07). Pada 1993, Arco menemukan cadangan gas di Blok Kangean Barat 2 dan 3. Disusul kemudian cadangan gas baru di Blok Sirasun 1, Blok Apprasial atau Sirasun 2. Kemudian pada 2005 perusahaan yang telah berganti posisi ke EMP Kangean Ltd dalam uji seismik 3 dimensi di daerah Blok Terang - Sirasun dan Batur telah ditemukan kandungan gas.
Pengelolaan perusahaan gas di Pagerungan Besar pada dasarnya telah berkali-kali ganti posisi. Semula Blok Kangean dikelola oleh Arco Bali North Indonesia pada 1980. Kemudian pada tahun 1982 perusahaan tersebut melepas 40 persen sahamnya pada Beyond Petrolium (BP) dan pada 1998 telah diambil alih pengolahannya oleh BP. Pada tahun yang sama BP membuka kerjasama dengan Amoco Ltd, yang kemudian melebur menjadi BP - Amoco. Pada tahun 2000 BP - Amoco telah bergabung dengan Arco Ltd. Sehingga pada tahun itu perusahaan migas yang terletak di Pulau Pagerungan telah berganti nama menjadi BP Kangean Ltd.
Pada tahun 2004, tepatnya di bulan Agustus BP Kangean Ltd menjual perusahaannya kepada Energy Mega Persada (EMP) Kangean Limited. Berdasarkan kontrak sebelumnya semasa dipegang Arco kegiatan itu akan berakhir 2010. Namun pasca pembelian PT EMP Kangean Ltd, kontrak diperpanjang hingga 2030.
Dalam catatan Harian Surya (23/01/07), Pulau Pagerungan Besar memproduksi gas alam awalnya sebesar 175 MSCF (million standard cubic feet) per hari yang disalurkan melalui pipa bawah laut 28 inci sepanjang 450 KM menuju Porong (sebagai home base). Dari home base ini kebutuhan gas alam dipasok untuk memenuhi kebutuhan di Petrokimia, Perusahaan Gas Negara (PGN) dan PT PJB Unit Pembangkit Listrik. Sedangkan nilai produksi total Indonesia share (bruto) $ 83.558.000 atau sekitar Rp 781.267.300.000 (tahun 2004).
Demikianlah, sepintas Pagerungan Besar menyiratkan roman-roman keindahan yang dipancarkan menara perusahaan-perusahaan di atas, seiring dengan penghasilan minyak gasnya yang sangat menggila, sehingga Pagerungan Besar seolah menjadi pulau yang makmur dan sejahtera. Namun sayang, roman-roman keindahan tersebut justeru menyimpan sejuta penyiksaan bagi masyarakat setempat khusunya, dan masyarakat Sapeken secara umum.
Persoalannya adalah, mengapa masyarakat kita hanya menjadi penonton dan tidak bisa menikmati hasil kekayaan alam tersebut? Jawabannya Cuma satu, karena perusahaan-perusahaan di atas sebenarnya bukan milik Indonesia, melainkan milik asing. Sekedar diketahui, bahwa dari 158 blok migas di Indonesia, hanya 21 blok saja yang dikelola oleh Pertamina (milik Indonesia), sementara 137 lainnya adalah dikuasai asing. Itulah sebabnya, hasil pengerukan minyak gasnya pun lebih banyak dinikmati asing.
Melihat siklus permainan yang dilakukan perusahaan-perusahaan di atas terhadap pulau Pagerungan Besar, akankah masyarakat Sepanjang, Sakala, dan beberapa pulau lainnya yang masuk dalam gugusan Kepulauan Kangean juga mengalami hal yang sama setelah potensi alamnya mulai dikeruk? Jika harus demikian, lalu siapakah yang harus bertanggung jawab? Berharap pada pemerintah tentu saja sudah sangat tidak memungkinkan. Sebab, perusahaan-perusahaan di atas bisa beroperasi justeru karena membangun jalinan perselingkuhan dengan pihak pemerintah.
Karena itu, tak ada lagi yang diharapkan selain kaum pemuda, terutama kalangan mahasiswa setempat yang harus lebih banyak bergerak melakukan penyadaran pada masyarakat. Sebab, merekalah satu-satunya agen perubahan sosial (agent of social chang) yang masih bisa diharapkan. Energisitas kepemudaan dan tingkat kritisisme mereka yang masih sangat kuat dianggap relatif mampu untuk mengusung wacana-wacana kemasyarakatan sembari melakukan pendampingan setiap saat. Karena itu, jika mereka sudah tidak mampu lagi melakukannya, maka tidak lama lagi Sapeken benar-benar akan tenggelam oleh hegemoni perusahaan yang berwatak kapitalistik itu. Suatu petanda bahwa Sapeken tidak lama lagi akan hanya tinggal nama. Semoga tidak…!
*Penulis adalah putera Sepanjang, Sapeken, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Kutub Yogyakarta (LKKY). Karya-karyanya berupa artikel/opini telah dipublikasikan di berbagai media, baik lokal maupun nasional. Email: bs_yunus@yahoo.com. Tlp. 081328609238.
Kamis, 29 Mei 2008
KORPORASI BERAKSI, MASYARAKAT SEKARAT, PEMUDA BERGERAK
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
3 komentar:
semoga HIMAS mampu menahan laju kapitalisme global di sapeken bukan sebaliknya, menjadi penghampar karpet merah kepada para punggawa kapitalisme global!
salam kenal...kapan2 tak mampir lagi
sifat dasar setiap korporasi kapan dan dimanapun adalah mengeruk keuntungan sebesar-besarnya. tentang bagaimana kondisi masyarakat di daerah kepulauan, yang perlu dipertanyakan adalah dimana dan bagaimana tanggung jawab pemerintah???
Posting Komentar